Sabtu, 18 Juni 2016

Kepercayaan Masyarakat Jawa Pra Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masyarakat jawa, atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialegnya secara turun-temurun. Masyarakat jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di jawa tengah dan jawa timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Secara geografis suku bangsa jawa mendiami tanah jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri, sedangkan pesisir dari luar wilayah tersebut dinamakan Pesisir dan Ujung Timur. Surakarta dan Yogyakarta merupakan bekas kerajaan Mataram pada sekitar abad 16 adalah pusat dari kebudayaan jawa.
Sebelum masuknya islam di jawa yang di bawa oleh para walisongo, masyarakat islam telah memiliki kepercayaan-keperrcayaan seperti animisme atau percaya kepeda roh- roh nenek moyang. Kepercayaan masyarakat jawa pra islam bukan hanya animisme saja, tetapi ada juga kepercayaan dinamisme, dan juga kepercayaan hindu-budha.


B.     RUMUSAN MASALAH

a.       Bagaimana kepercayaan masyarakat jawa pra islam (animisme dan dinamisme)?
b.      Bagaimana kepercayaan masyarakat jawa (hindu-budha)?












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kepercayaan masyarakat jawa pra islam (animisme dan dinamisme)
Salah satu ciri masyarakat jawa adalah berketuhanan. Masyarakat jawa masa presejarah telah memiliki kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga pada manusia sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib  atau memiliki roh yang berwatak  baik maupun buruk. Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yang ada, terdapat rooh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji.
Pelaksanaan upacara dilaksanakan oleh masyarakat jawa agar keluarga mereka terhindar dari roh jahat. Mereka meminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar tidak mengganggunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu besar sebagai tempat-tempat pemujaan untuk memuja nenek moyang serta menolak hantu yang jahat. Arwaah yang pernah hidup pada masa sebelumnya dianggap banyak jasa dan juga pengalamannya sehingga perlu dimintai berkah dan petunjuk. Cara yang ditempuh untuk menhadirkan roh nenek moyang aadalah dengan mengundang orang yang sakti dan ahli dalam bidang tersebut, yang di sebut perewangan, untuk memimpin acara. Mereka juga membuat patung nenek moyang agar arwah roh nenek  moyang masuk dalam patung tersebut dengan bantuan dan upaya perewangan tersebut. Sebagai kelengkapan upacara tersebut mereka menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari oleh nenek moyang. Mereka menyempurnakan acara tersebut dengan tari-tarian dan bunyi-bunyaian agar arwah nenek moyang saat dipanggil mennjadi gembira dan berkenan  memberi berkah padda keluarganya. Sisa-sisa upacara keagamaan semacam itu masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat jawa sekarang. Namun, upacara tersebut telah berubah fungsinya menjadi kesenian rakyat tradisional.  Seperti sintren, nini thowok, barongan, tari topeng dan pertunnjukan wayang.[1]
Penanggalan jawa membuat kita  terkesan pada kenekaragaman waktu yang di kondifikasikan olehnya. Sistem penanggalan berdasarkan hari yang pada pokoknya berlandaskan padad panduan tiga pekan, masing-masing disebut pancawara atau pasaran, sadwara dan saptawara. Nama hari pancawara dan sadwara semuanya berasal dari jawa, yaitu pahing, pon, wage, kliwon, dan legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang, wurukung, paning rng, uwas, dan mawulu. Di bali masih demikian dan sekarang berasal dari bahasa arab adalah, ahad, senen, seloso, rebo, kemis, jemuwah, dan setu. Sesajian kepada roh dibuat pada hari tertentu yang di anggap baik walaupun agak rumit. Kerumitan hari-hari di jawa memang berkurang jika dibandingkan dengan saptaswara. Kombinasi antara hari selasa dan jum’at dengan pasaran kliwon sangatlah istimewa.
Masyarakat jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam didasari merupakan penentuan dari kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati dibalik semua alam itu. Selanjutnya, sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi alam semesta atau jagad gede. Hal ii dilaksanakan agar semua kekuatn alam yang akan mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan.
Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih, minuman air atau air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum-minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan ata hari kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan pati geni yaitu, tidak makan, tidak minum, dan tidak melihat sinar apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Usaha untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan dengan cara menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa keris, tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar kuku macan. Tiindakan kepercayaan tersebut adalah peninggalan dari kepercayaan dinamisme.
B.     Kepercayaan Masyarakat Jawa Pra Islam (hindu-budha)
Dalam taraf keagamaan, suku jawa menerima pengaruh agama dan kebudayaan hindu-budha. Dengan cara melalui pemahaman dan pengolahan golongan bangsawan serta para cendekiawan jawa. Dari pemahaman dan pengolahan para cendekiawan inilah orang-orang awam menerima pengaruh hindu-budha. Para cendekiawa yang mengerti bahasa sansekerta, akhirnya dapat pula mengolah huruf-huruf yang berasal dari hindu-budha, untuk menulis bahasa jawa. Penggunaan bahasa jawa merupakan permulaan sejarah bagi suku jawa. [2]
 Masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia tidak dapat dipisahkan denngan adanya hubungan pelayaran dan perdagangan antara India dan Cina yang melewati wlayah kepulauan di Nusantara. Melalui hubungan dagang ini, pedagang-pedagang Nusantara ikut berperan terutama untuk memasarkan hasil bumi, termasuk hasil hutan dan rempah-rempah.
Beragam pendapat muncul dari para sejarawan tentang masuknya Hindu-Buddha di Indonesia, dan Jawa khususnya. Ada 2 kelompok sejarawan yang memiliki teori tentang pembawa pengaruh India ke Indonesia, yakni kelompok yang menekankan peranan aktif bangsa India dan kelompok yang mengakui peranan aktif bangsa Indonesia, selain adanya peranan aktif bangsa India. Ahmad Khalil dalam bukunya Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa menjelaskan bahwa sejak zaman pra Hindu-Buddha, penduduk Indonesia telah melakukan pelayaran hingga ke pulau-pulau lain. Letak geografis Indonesia sebagai lalu lintas perdagangan dunia, memudahkan masuknya budaya-budaya luar ke wilayah Indonesia pada masa itu. Selain itu, produksi rempah-rempah dan kekayaan alam yang lain juga sangat melimpah dan diminati dunia perdagangan. Hubungan perdagangan dengan daerah lain seperti India, Arab, Persia dan Cina telah ada sejak masa itu. Kondisi yang demikian strategis inilah yang menjadikan pangeran-pangeran lokal berkenalan dengan pandangan-pandangan politik dan religius luar, terutama India. Sehingga budaya Hindu-Buddha mulai masuk dan berkembang di Jawa.
Sedangkan menurut C.C. Berg, bermula pada legenda seorang pemuda bernama Aji Saka yang datang dari India dan berhasil menguasai sebuah negeri  yang bernama Medangkamulan pada tahun 78 Masehi. Kemudian masyarakat Jawa menggunakan nama Saka untuk mempermudah ingatan perhitungan awal tarikh Jawa. Hitungan ini diawali dengan runtuhnya kepercayaan animisme karena masuknya pengaruh Hindu di Jawa.[3]
Dalam Sejarah Nasional Indonesia II, dijelaskan bahwa pendapat pertama yang muncul tentang masuknya budaya Hindu adalah telah terjadi kolonialisasi oleh orang-orang India di Indonesia. Koloni-koloni orang India ini menjadi pusat penyebaran budaya India (Hindu). Pendapat Bosch ini dikenal dengan hipotesa Ksatria. Akan tetapi, Krom tidak berpendapat bahwa golongan ksatria merupakan golongan yang terbesar di antara orang-orang India yang datang ke Indonesia. Karena mayoritas pendatang adalah para pedagang. Mereka menetap di Indonesia dan kemudian memegang peranan penting dalam penyebaran pengaruh budaya India, melalui hubungan mereka dengan para penguasa di Indonesia. Krom mengisyaratkan kemungkinan adanya perkawinan antara para pedagang dengan wanita-wanita Indonesia. Perkawinan demikian merupakan saluran penyebaran pengaruh yang penting. Teori ini kini lebih dikenal dengan hipotesa Vaisya.
Menyangkal kedua hipotesa sebelumnya, Van Leur berpendapat bahwa para Brahmana memegang peranan penting dalam penyebaran budaya India. Mereka datang atas undangan para penguasa di Indonesia. Menurutnya, para penguasa terdorong oleh keinginan untuk dapat berhadapan dengan orang-orang India dengan taraf yang sama dan terdorong pula untuk meningkatkan keadaan negerinya.
Sedangkan agama Buddha pertama kali masuk ke wilayah Nusantara diperkirakan sekitar abad ke-5 Masehi, dibawa oleh pengelana dari Cina bernama Fa Hsin. Hubungan dagang antara masyarakat Nusantara dan Cina memang tengah berkembang pada masa itu. selain bukti dari Fa Hsin, perjalanan Gunavarman dari She-p’o ke Cina juga menjadi bukti lain dari perkembangan hubungan masyarakat Nusantara dan Cina. Agama Buddha kemudian berkembang, hingga muncul banyak kerajaan bercorak Buddha di beberapa wilayah di Nusantara seperti Sriwijaya dan Syailendra.[4]
Pada dasarnya budaya dimasa hindu-budha meupakan manifestasi kepercayaaan jawa hindu-budha semenjak atangnya hindu budha di tanah jawa. Kegiatan tersebut berupa upacara, tradisi yang sebagian dapat di lihat keberadaannya sampai saat ini. Upacara tersebut dilakukan untuuk memmperoleh kesejahteraan para dewa. Dimasa majapahit para agamawan melaksanakan ritual kerajan dengan baik, dan menjaga candi-candi yang merupakan  tempat pemujaan para leluhur raja. Kraton merelakan hasil surplus dari tidak kurang dari 27 bidang tanah milik otonom (sima sawatrantra) antara lain di kwak dekat magelang, di yogya dan ponorogo yang di anugerahkan pada rohaniwan agama siva dan budhauntuk memohonkan kkesejahteraan.
Masyarakat jawa dimasa hindu-budha tampaknya berlapis tiga. Pertama, terdiri dari kaum agamawan hindu-budha yang memiliki tanah bebas pajak. Kedua, keluuarga raja yang berkuasa ats para raka (penguasa) local dengan bantuan kaum agamawan, dan yang ketiga adalah masyarakat desa biasa yang di pungut pajak oleh raja dengan perantaran mangilala drwiya aji atau pemanen pajak. Dengan mmemmperbanyak jumlah sima para raja berkepentingan menjaring dukungan agamawan, sedangkan dari sudut kekayaan material, mereka juga berkepentingn untuk mengembangkan budidaya padi.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Masyarakat jawa adalah orang-orang yang hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dan dialegnya secara turun temurun. Animisme jawa adalah pemahaman yang menyatakan bahwa setiap gerakan, kekuatan dan kejadian di alam ini disebaabkan oleh mahluk-mahluk yang ada disekitarnya. sedangkan dinamisme berasal dari kata yang terdapat dari bahasa yunani, yaitu dunamos dan di inggriskan menjadi dynamic yang umumnya di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kekuatann, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan dengan daya. Dinamisme disebutjugapreanismisme, yang mengjarkan bahwa tiap-tiap benda atau mahluk memppunyai kekuatan.










DAFTAR  PUSTAKKA
Abdul jamil, Abdurrahman mas’ud, islam dan kebudayaan jawa, Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2000.
Simuh, mistik islam kejawem raden ngabehi ranggawarsita, Jakarta: universitas inndonesia, 1988.
Darori amin, islam dann kebudayaan jawa, Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2000.
Ahmad Khalil, islam jawa sufisme dalam etika dan tradisi jawa, Malang: UIN Malang press, 2000.


[1] Abdul jamil, Abdurrahman mas’ud, islam dan kebudayaan jawa, Yogyakarta: gama media, 2000, hlm. 5-9
[2] Simuh, mistik islam kejawen raden ngabehi ranggawarsita, jakarta: penerbit universiyas Indonesia, 1988, hlm.1
[3] Darori amin, islam dan kebudayaan jawa, Yogyakarrta: Gama Media, 2000, hlm.10
[4] Ahmad Khalil, islam jawa ssufisme dalam etika dan tradisi  jakan bahasa wa, Malang: UIN Malang press, 2008, hlm.144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar